Motivasi Sewa Konsultan Pajak: Kepatuhan atau Ketidakpatuhan?

Dalam mobilisasi perannya pada proses perpajakan, konsultan pajak kerap diasosiasikan dengan dengan hal-hal yang berwujud negatif, sebut saja apabila aggressive tax planning, tax avoidance dan tax evasion. Hal berikut pasti bukan tanpa dasar. Konsultan pajak dengan dengan keahliannya mampu mengedukasi Wajib Pajak untuk patuh namun pada pas yang bersamaan, dengan dengan keahliannya juga, mampu menjadi promotor ke arah ketidakpatuhan.

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa konsultan pajak memberi tambahan jasa perpajakan kepada Wajib Pajak gara-gara mereka disewa oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Berdasarkan perjanjian tertentu, konsultan pajak kemudian dapat mobilisasi hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang menjadi kliennya. Sebagai imbalan, konsultan pajak pasti dapat mendapatkan sejumlah fee yang didasarkan kepada kesepakatan ke-2 belah pihak. Dengan demikian, pola kerja dan arah pekerjaan konsultan pajak dapat diwarnai oleh semangat Wajib Pajak yang menyewa mereka konsultan pajak jakarta .

Pertanyaannya kemudian adalah apakah semangat yang mendorong Wajib Pajak untuk menyewa konsultan pajak? Tulisan ini dapat menguraikan beberapa hasil penelitian di bermacam negara mengenai semangat Wajib Pajak menyewa konsultan pajak. Praktik di Indonesia juga dapat diuraikan berdasarkan hasil penelitian yang dulu dijalankan oleh penulis. Temuan-temuan penelitian berikut dikehendaki mampu memberi tambahan deskripsi mengenai apa memang hal-hal yang mendorong Wajib Pajak mempekerjakan konsultan pajak di dalam mobilisasi hak dan kewajiban perpajakannya.

Konsultan pajak berperan sangat strategis di dalam proses perpajakan suatu negara. Mereka mampu pengaruhi keputusan Wajib Pajak mengenai kepatuhan pajak yang nilainya barangkali sangat signifikan. Di satu faktor dengan dengan keahliannya, mereka mampu mendukung integritas proses perpajakan gara-gara mampu mendukung Wajib Pajak mengetahui keputusan ketetapan perundangan perpajakan supaya Wajib Pajak menjadi patuh. Di faktor lain, mereka juga mampu melemahkan proses perpajakan manakala mereka mengarahkan atau mengajak Wajib Pajak untuk lakukan apa yang dinamakan unucceptable tax planning.

Berdasarkan mengenai tersebut, peran konsultan pajak mampu dilukiskan berada di suatu lokasi pada sebuah garis yang membentang antara pemerintah di satu titik dan Wajib Pajak di titik yang lain. Pada pas mereka berada di lokasi yang dekat dengan dengan pemerintah, mereka mampu dikatakan sebagai government supporter. Sementara itu, apabila mereka berperan lebih dekat dengan dengan Wajib Pajak maka mampu disebut sebagai taxpayers’ ally. Mereka mampu juga memelihara independensi supaya tetap berada di tengah-tengah antara pemerintah dan Wajib Pajak. Dalam keadaan demikian, mereka mampu disebut berperan sebagai hybrid agents. Satu peran lain yang mampu dimainkan oleh konsultan pajak adalah sebagai government sparring partner pas mereka turut bersumbangsih di dalam penyusunan kebijakan pemerintah mengenai perpajakan atau menggugat dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang berlaku di pengadilan pajak misalnya.

Kecenderungan konsultan pajak untuk lakukan peran-peran berikut tergoda oleh bermacam faktor. Salah satu faktor yang paling relevan adalah semangat Wajib Pajak menyewa mereka di dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Hal ini pasti saja gara-gara style jasa yang diberikan oleh konsultan pajak umumnya dijalankan cocok dengan dengan keperluan Wajib Pajak. Selain itu, konsultan pajak pun mendapatkan imbalan dari Wajib Pajak yang menjadi kliennya. Dengan demikian, faktor pendorong Wajib Pajak menyewa konsultan pajak mampu dipastikan memberi tambahan dampak pada peran yang dijalankannya.

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan negara-negara Eropa, beberapa besar laporan pajak (Surat Pemberitahuan/SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak disiapkan oleh konsultan pajak. Oleh gara-gara itu, tidak heran bahwa di negara-negara berikut penelitian mengenai peran konsultan pajak juga yang mengenai dengan dengan semangat Wajib Pajak menyewa konsultan pajak pun udah banyak dilakukan. Penelitian mengenai konsultan pajak dimaksud udah di menjadi sejak dekade 1980-an dan berkembang pesat pada dekade 1990-an. Pelopor penelitian di bidang ini, antara lain adalah Slemrod dan Sorum (1984), Long dan Caudill (1987), Milliron (1988), dan Beck et al. (1989).

Dari bermacam penelitian tersebut, secara lazim tersedia empat semangat utama Wajib Pajak menyewa konsultan pajak. Pertama, mereka berniat mematuhi keputusan ketetapan perundangan perpajakan. Kedua, Wajib Pajak berkeinginan untuk menghindari pengenaan sanksi perpajakan. Ketiga, mereka mengusahakan menurunkan risiko dilakukannya pengecekan pajak oleh otoritas pajak. Terakhir, Wajib Pajak menyewa konsultan pajak untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak.

Secara lebih spesifik, berdasarkan penelitian pada 1980-an, diketahui bahwa Wajib Pajak berpikiran proses perpajakan sebagai suatu mengenai yang kompleks, penuh dengan dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Untuk mengurangi ketidakpastian berikut mereka kemudian menyewa konsultan pajak supaya mereka mampu mengemukakan laporan pajak yang paling akurat. Temuan penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dijalankan pada dekade berikutnya, yakni pada tahun 1990-an. Hite et al. (1992) mengindikasikan bahwa 88% responden penelitian menyewa konsultan pajak supaya SPT yang dapat disampaikan disiapkan dengan dengan benar.

Senada dengan dengan hasil penelitian ini adalah penelitian di AS pada 1998 yang mengutarakan bahwa 70% responden menunjukkan mereka menyewa konsultan pajak gara-gara inginkan mengemukakan SPT yang benar dan akurat. Hasil penelitian ini dikonfirmasi oleh penelitian lain di Selandia Baru yang juga menunjukkan bahwa Wajib Pajak menyewa konsultan pajak terlebih untuk mampu mengemukakan SPT dengan dengan akurat cocok keputusan perpajakan yang berlaku. Di samping itu, Hite dan McGill (1992) mengindikasikan bahwa Wajib Pajak lebih cenderung inginkan saran yang konservatif dari konsultan pajak. Meskipun demikian, mengenai paling akhir tampaknya bertentangan dengan dengan hasil penelitan yang dijalankan Schisler (1995) yang mengindikasikan bahwa sikap konsultan lebih tergoda oleh agresivitas dari klien.

Motivasi setelah itu yang mendorong Wajib Pajak menyewa konsultan pajak adalah untuk menghindari terkenanya sanksi perpajakan. Penelitian di AS pada 1992 dan di Selandia Baru pada 1999 mengutarakan bahwa semangat utama lainnya dari Wajib Pajak memakai konsultan pajak adalah untuk menahan pengenaan sanksi perpajakan. Klepper et al. (1991) juga menunjukkan bahwa konsultan pajak mampu lakukan strukturisasi atau karakterisasi transaksi yang mampu tingkatkan pendapatan sesudah pajak. Hal ini dijalankan dengan dengan cara mengorganisasi transaksi sedemikian rupa supaya sanksi perpajakan mampu diminimalisasi meskipun ketidakpatuhan yang dijalankan mampu dideteksi oleh otoritas pajak.

Di samping itu, kurangnya informasi yang dimiliki oleh Wajib Pajak mengenai persoalan perpajakan mampu memicu Wajib Pajak keliru di dalam menerapkan suatu ketentuan. Kekeliruan berikut meskipun barangkali sangat tidak disengaja namun tetap dapat mengakibatkan barangkali pengenaan sanksi perpajakan. Konsultan pajak yang disewa mampu menjadi sumber informasi bagi Wajib Pajak supaya knowledge asymmetry berikut mampu dihilangkan yang kemudian sanksi perpajakan mampu dihindari.

Selanjutnya, semangat Wajib Pajak menyewa konsultan pajak adalah untuk menurunkan risiko pengecekan pajak. Penelitian oleh Hite dan Morrison (1987) mengutarakan bahwa keliru satu dari tiga semangat utama Wajib Pajak menyewa konsultan pajak adalah untuk mengurangi dampak barangkali diaudit oleh otoritas pajak. Konsisten dengan dengan hasil penelitian tersebut, Klepper et al. (1991) menunjukkan bahwa klien menyewa konsultan pajak untuk menurunkan dampak pengecekan pajak.

Hasil penelitian berikut dikonfirmasi oleh penelitian pada 1992 oleh Hite et al. yang juga mengindikasikan bahwa 46% responden penelitian sepakat bahwa menurunkan probabilitas dilakukannya pengecekan merupakan keliru satu alasan utama mereka menyewa konsultan pajak. Beberapa tahun berikutnya, Tan (1999) juga melaporkan bahwa 48% responden penelitian pas ditanya mengenai semangat menyewa konsultan pajak menunjukkan bahwa pengurangan barangkali pengecekan merupakan keliru satu faktor yang utama.

Meskipun kelihatannya bukan merupakan semangat utama, mengurangi jumlah pembayaran pajak ternyata memang udah menjadi sebuah pendorong Wajib Pajak di dalam menyewa konsultan pajak. Salah satu penelitian awal oleh Yankelovich (1984) mengindikasikan bahwa 13% responden meminta dengan dengan menyewa konsultan pajak, Wajib Pajak dapat mendapatkan pengurangan jumlah beban pajak yang perlu dibayar. Collins et al. (1989) juga mengindikasikan bahwa 25% responden penelitian di AS memiliki semangat untuk mengurangi beban pajak dengan dengan menyewa konsultan pajak. Selain itu, Christensen (1992) juga melaporkan bahwa Wajib Pajak inginkan konsultan untuk mendukung mereka mengembangkan tax planning yang mampu meminimalisasi pajak.

Tidak seperti di negara maju, di negara-negara berkembang, juga Indonesia, knowledge statistik mengenai penggunaan konsultan pajak oleh Wajib Pajak atau knowledge mengenai berapa banyak SPT Wajib Pajak yang disiapkan oleh konsultan pajak susah untuk didapatkan. Meskipun demikian, sejauh yang penulis ketahui, di Indonesia hampir semua Wajib Pajak besar, baik perusahaan maupun orang pribadi, udah memakai jasa konsultan pajak. Di samping itu, meningkatnya jumlah konsultan pajak dari tahun ke tahun juga menunjukkan besarnya permohonan atas jasa konsultan pajak.

Di luar negeri, penelitian mengenai konsultan pajak paling tidak udah meliputi empat bidang, yakni peran konsultan pajak, semangat Wajib Pajak memakai konsultan pajak, faktor yang pengaruhi konsultan pajak di dalam memberi tambahan rekomendasi, dan dampak konsultan pajak pada kepatuhan. Sayangnya, di Indonesia sangat sedikit atau barangkali bahkan belum tersedia penelitian yang mendalam dan juga komprehensif mengenai hal-hal tersebut. Padahal, di dalam konteks self-assessment, peran konsultan pajak sangatlah penting. Wajib Pajak di dalam proses self-assessment udah diberikan kewenangan oleh negara untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak-pajaknya sendiri. Untuk mampu lakukan mengenai berikut Wajib Pajak dituntut untuk mengetahui dan mengetahui semua keputusan ketetapan perundangan perpajakan yang berlaku.

Sementara itu, untuk mengetahui dan mengetahui keputusan perpajakan secara komprehensif dan up to date bukan merupakan perkara yang mudah. Wajib Pajak tidak cuma butuh pas yang lumayan lama untuk mampu mengetahui ketentuan-ketentuan dengan dengan baik namun juga perlu tetap memperbaharui informasi yang dimiliki. Hal ini pasti saja gara-gara keputusan perpajakan dari pas ke pas tetap berubah. Di faktor lain, Wajib Pajak pun perlu mengurusi operasional bisnisnya dengan dengan cermat. Oleh gara-gara itu, konsultan pajak berperan untuk isi keperluan yang tercipta tersebut.

Di bawah ini dapat diuraikan semangat Wajib Pajak menyewa konsultan pajak berdasarkan hasil penelitian yang dijalankan oleh penulis pas menyusun desertasi doktoral di Australia. Perlu disampaikan bahwa motivasi-motivasi yang dapat dijelaskan berikut diamati dari sudut pandang konsultan pajak profesional di Indonesia dan bukan dari sudut pandang Wajib Pajak. Oleh gara-gara itu, dikehendaki bahwa pandangan berikut lebih objektif dan kredibel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *